Facebook
merupakan media yang memberi peluang bagi orang-orang untuk menunjukkan
kemampuannya, baik kemampuan berpose dengan memajang foto-fotonya atau
pun kemampuannya mengolah kata-kata yang membuat orang lain tertarik,
termotivasi, dan kagum, dengan status-status dan komentarrnya.
Namun
tidak semua status dan komentar mereka membuat yang membaca tertarik,
termotivasi, dan kagum, justru sebaliknya, diantara status dan komentar
yang terpampang di facebook ada sebagian yang mencaci, menghujat,
melecehkan, menghina, bahkan mengancam. Status dan kemontar tersebuat
ada yang ditujukan kepada temannya sendiri, orang lain, atau rivalnya.
Bahkan, agama (Islam) pun menjadi obyek status-status dan komentar yang
tidak pantas itu.
Beberapa
hari yang lalu, penulis mendapatkan akun facebook dari teman. Yang
memiliki akun facebook itu membuat status yang isinya melecehkan Islam.
Mulai melecehkan umat Islam, ajaran Islam, bahkan membinatangkan the chosen person shallallahu alaihi wasallam.
Yang memiliki akun facebook itu besar kemungkinan bukan orang muslim.
Seorang muslin tidak akan pernah membuat kata-kata yang isi melecehkan
agamanya sendiri.
Tentu, umat Islam yang membaca status itu, wajahnya panas luar biasa, hatinya serasa dibakar, kepalanya seakan dipukul dengan palu godam-sakit, sakit sekali.
Sehingga, komentar-kemontar yang mengiringi di bawah status itu, 99%
membalas dengan kata-kata yang juga menghina, mengecam, bahkan
mengancam. Mungkin komentar-kementar tersebut sebagai bukti rasa sakit
hati dan tidak terima agama dan Nabi Muhammad dilecehkan. Sesakit apapun
hati kita, harus kah kita membalas dengan kata-kata yang tidak pantas?
Seharusnya tidak perlu, kawan.
Sekali lagi tidak kawan!!!
Bukan
ini yang diinginkan Rosul terhadap umatnya, bukan saling mencaci maki,
mencemooh, dan membalas hinaan dengan yang lebih parah. Rosul memberikan contoh bentuk tarbiyah dan ta’lim yang paling jitu dan indah yaitu berlaku lemah lembut dalam segala perkara, dalam mengenal maslahat dan menolak mafsadat.
Sepintas ada kenikmatan yang kita dapat ketika membalas hujatan dengan hal yg sama.
Bangga karena memiliki pembendaharaan kata yang lebih “jahat” untuk menghujat balik.
Puas karena emosi yang berkumpul pada satu titik telah tersalurkan dengan hinaan yang lebih binatang.
Menang karena kuantitas komentor melebihi harga permen tamarine yang hanya 100,-
Tapi, ada hal yang tidak kita sadari
Tidakkah kita berfikir, kepuasan mereka adalah luapan emosi dari pihak muslim?
Tidakkah
kita berfikir, hujatan dari muslim yang tertera jelas di kolom komentar
memberikan bukti bahwa Islam agama yang tak bermoral.. bukan agama
rahmatan lil alamin,, seperti yang dituduhkan mereka???
Tidakkah kita berfikir, merespon dengan hujatan yang serupa bukan malah membungkam mulut mereka?
Tidakkah
kita berfikir, hujatan balik dari kita adalah kayu bakar yang memantik
semangat mereka untuk tetap eksis mencemooh Islam?
Tidakkah kita berfikir, hujatan balik ini adalah pameran dari tubuh2 muslim yang bertelanjang bulat, memamerkan aib-aib secara gratis kepada musuh Islam ?
Hal-hal ini yang tak boleh kita lupakan,
Mereka ingin
dilihat dan diperhatikan, serta ingin mendapat respon yang “nakal” dari
kaum muslim. Dengan membalas mereka, apa bedanya kita dengan mereka
yang tidak punya etika dalam bertutur sapa?
Wahai sobat,
Perlulah kita menoleh kembali ke era Rasulullah SAW, untuk mengikuti figur yang layak dijadikan cerminan dalam bertingkah.
Suatu riwayat : ‘Aisyahradhiyallahu
‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Apakah ada hari yang engkau rasakan lebih berat daripada hari
peperangan Uhud?” Beliau menjawab: “Aku telah mengalami berbagai
peristiwa dari kaummu, yang paling berat kurasakan adalah pada hari
‘Aqabah, ketika aku menawarkan dakwah ini kepada Abdu Yalail bin Abdi
Kalaal namun dia tidak merespon keinginanku. Akupun kembali dengan wajah
kecewa. Aku terus berjalan dan baru tersadar ketika telah sampai di
Qornuts Tsa’alib (sebuah gunung di kota Makkah). Aku tengadahkan
wajahku, kulihat segumpal awan tengah memayungiku. Aku perhatikan dengan
saksama, ternyata Malaikat Jibril ada di sana. Lalu ia menyeruku:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaum-mu dan bantahan mereka
terhadapmu. Dan aku telah mengutus malaikat pengawal gunung kepadamu
supaya kamu perintahkan ia sesuai kehendakmu. Kemudian malaikat pengawal
gunung itu memberi salam kepadaku lalu berkata: “Wahai Muhammad,
sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka
terhadapmu, dan aku adalah malaikat pengawal gunung, Allah telah
mengutusku kepadamu untuk melaksanakan apa yang kamu perintahkan
kepadaku. Sekarang, apakah yang kamu kehendaki jika kamu menghendaki
agar aku menimpakan kedua gunung ini atas mereka, niscaya aku lakukan!”
Beliau menjawab: “Tidak, justru aku berharap semoga Allah mengeluarkan
dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah semata dan tidak
mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Nya.” (Muttafaq ‘alaih).
Bukan
hanya sekali saja Nabi dihina. Bahkan ada seorang wanita tua yang
berani mencerca Nabi. Setiap kali Nabi melintas muka rumahnya, kala itu
pula si wanita meludahkan air liurnya, “cuh,cuh,cuh.” Peristiwa itu
berulangkali terjadi, bahkan hampir setiap hari.
Suatu
kali, ketika Nabi lewat di depan rumahnya, si wanita tadi tak lagi
meludahinya. Bahkan, batang hidungnya saja tak kelihatan pula. Nabi pun
menjadi “kangen” akan air ludah si wanita tadi. Karena penasaran, Nabi
lantas bertanya kepada seseorang, “Wahai Fulan, tahukah engkau,
dimanakah wanita pemilik rumah ini, yang setiap kali aku lewat selalu
meludahiku?”
Orang
yang ditanya menjadi heran, kenapa Nabi justru menanyakan, penasaran,
dan tak sebaliknya merasa kegirangan. Namun, si Fulan tak ambil peduli,
oleh karenanya ia segera menjawab pertanyaan Nabi, “Apakah engkau tidak
tahu wahai Muhammad, bahwa si wanita yang biasa melidahimu sudah
beberapa hari terbaring sakit?” Mendengar jawaban itu Nabi
mengangguk-angguk, lantas melanjutkan perjalanan untuk ibadah di depan
Ka’bah, bermunajat kepada Allah Pemberi Rahmah.
Sekembalinya
dari ibadah, Nabi mampir menjenguk wanita peludah. Ketika tahu, bahwa
Nabi, orang yang tiap hari dia ludahi, justru menjenguknya, si wanita
menangis dalam hati. “Duhai betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap
hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari.”
Dengan menitikan air mata haru bahagia, si wanita bertanya, “Wahai
Muhammad, kenapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?”
NABI
MENJAWAB, “AKU YAKIN, ENGKAU MELUDAHIKU KARENA ENGKAU BELUM TAHU
TENTANG KEBENARANKU. JIKA ENGKAU MENGETAHUINYA, AKU YAKIN ENGKAU TAK
AKAN LAGI MELAKUKANNYA.”
Mendengar
ucapan bijak dari manusia utusan Allah swt ini, si wanita menangis
dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersekat. Lantas,
setelah mengatur nafas akhirnya ia dapat bicara lepas, “Wahai Muhammad
mulai saat ini aku bersaksi untuk mengikuti agamamu.” Lantas si wanita
mengikrarkan dua kalimat syahadat.
Subhanallahh
Allahumma shalli ‘ala Muhammad…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN TANGGAPAN