Banyak yang muncul tapi sedikit yang bertahan:
Mazhab Hanafi
Muncul di Baghdad, dinamakan menurut nama Abu Hanifah (meninggal
tahun 767).
Mendorong akal dan logika, menggunakan analogi dan kepentingan
publik secara ekstensif.
Saat ini dominan di Turki, Irak, Syiria, Lebanon, Yordania, Mesir, Libya,
Pakistan, Afghanistan.
Mazhab Maliki
Muncul di Madinah, dinamakan menurut nama Malik ibn Anas
(meninggal tahun 795).
Menekankan pemahaman sumber-sumber tekstual.
Saat ini dominan di Afrika Utara dan Afrika Barat.
Mazhab Syafi‟i
Muncul di Baghdad, dinamakan menurut nama Muhammad ibn Idris alSyafi„i (meninggal tahun 820) yang kemudian pindah ke Kairo.
Menawarkan sintesa baru mazhab Hanafi dan madzhab Maliki ,
menggunakan analogi dan kepentingan publik secara ekstensif.
Saat ini dominan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Sudan,
Mesir bagian Bawah, Arabia bagian Selatan.
Mazhab Hanbali
Muncul di Baghdad, dinamakan menurut nama Ahmad ibn Hanbal
(meninggal tahun 855), dan dipopulerkan oleh Abdul Wahhab pada awal
abad 18.
Menekankan pada sumber tekstual dari norma hukum.
Saat ini dominan di Arab Saudi.Mazhab Ja„fari atau Itsna „Asy‟ari (Hukum Syi‟ah)
Dinamakan menurut nama the Imam Shi‟a ke-enam Ja„far al-Sadiq
(meninggal tahun 748).
Mengakui bahwa akal manusia merupakan dasar yang sama kuatnya
dalam menentukan cakupan tujuan ilahi umat manusia, dengan syarat
berdasarkan wahyu.
Saat ini dominan di Iran dan Irak.MemidNikah dan Hijab
Yang menentukan hubungan seksual disebut zina adalah karena tidak
berdasarkan pernikahan yang sah, karena itu hukum tentang zina berkaitan
dengan, dan pada prakteknya dipertahankan oleh, hukum-hukum lain yang
dikeluarkan oleh para fuqaha klasik terkait pengaturan seksualitas, yakni
hukum nikah dan menutup badan perempuan (hijab). Hukum-hukum
patriarkhal tersebut menguatkan kekuasaan dan kewenangan dalam
ketentuan-ketentuan zina dan terus terjadi sampai saat ini, bahkan ketika
ketentuan tersebut telah dihapus dari kitab hukum modern. Di semua negara
Islam, selain Turki, sumber hukum perkawinan adalah fiqh tradisional, yang
memberikan hak kepada laki-laki untuk melakukan poligami dan perceraian
sepihak. Karena itu, menjadi sangat penting untuk melakukan penelusuran
lebih dalam tentang aturan nikah dan hijab sebagaimana yang didefinisikan
dalam teks fiqh klasik.
Para fuqaha klasik mendefinisikan pernikahan („aqd al-nikah, “kontrak
persetubuhan”) sebagai suatu kontrak dengan persyaratan hukum yang tetap
dan seragam serta mengikat. Hal ini yang mensahkan hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan; hubungan seksual di luar kontrak ini didefiniskan
sebagai zina. Kontrak ini dibuat sesuai pola kontrak dalam perdagangan, dan
memiliki tiga unsur: penawaran (ijab), oleh seorang perempuan atau walinya,
penerimaan (qabul) dari sang laki-laki, dan pembayaran mahar berbentuk
sejumlah uang atau benda/hal berharga lainnya yang dibayarkan atau
dilakukan sang suami untuk membayar pengantin perempuan sebelum atau
sesudah persetubuhan pertama25
.
Kontrak itu secara otomatis menempatkan seorang isteri di bawah
qiwamah suaminya, yang merupakan gabungan antara dominasi dan
perlindungan. Kontrak tersebut juga menentukan seperangkat hak dan Nikah dan Hijab
Yang menentukan hubungan seksual disebut zina adalah karena tidak
berdasarkan pernikahan yang sah, karena itu hukum tentang zina berkaitan
dengan, dan pada prakteknya dipertahankan oleh, hukum-hukum lain yang
dikeluarkan oleh para fuqaha klasik terkait pengaturan seksualitas, yakni
hukum nikah dan menutup badan perempuan (hijab). Hukum-hukum
patriarkhal tersebut menguatkan kekuasaan dan kewenangan dalam
ketentuan-ketentuan zina dan terus terjadi sampai saat ini, bahkan ketika
ketentuan tersebut telah dihapus dari kitab hukum modern. Di semua negara
Islam, selain Turki, sumber hukum perkawinan adalah fiqh tradisional, yang
memberikan hak kepada laki-laki untuk melakukan poligami dan perceraian
sepihak. Karena itu, menjadi sangat penting untuk melakukan penelusuran
lebih dalam tentang aturan nikah dan hijab sebagaimana yang didefinisikan
dalam teks fiqh klasik.
Para fuqaha klasik mendefinisikan pernikahan („aqd al-nikah, “kontrak
persetubuhan”) sebagai suatu kontrak dengan persyaratan hukum yang tetap
dan seragam serta mengikat. Hal ini yang mensahkan hubungan seksual antara
laki-laki dan perempuan; hubungan seksual di luar kontrak ini didefiniskan
sebagai zina. Kontrak ini dibuat sesuai pola kontrak dalam perdagangan, dan
memiliki tiga unsur: penawaran (ijab), oleh seorang perempuan atau walinya,
penerimaan (qabul) dari sang laki-laki, dan pembayaran mahar berbentuk
sejumlah uang atau benda/hal berharga lainnya yang dibayarkan atau
dilakukan sang suami untuk membayar pengantin perempuan sebelum atau
sesudah persetubuhan pertama25
.
Kontrak itu secara otomatis menempatkan seorang isteri di bawah
qiwamah suaminya, yang merupakan gabungan antara dominasi dan
perlindungan. Kontrak tersebut juga menentukan seperangkat hak dan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
BERIKAN TANGGAPAN